Rabu, 06 Februari 2013

PANGERAN DIPONEGORO

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R A Mangkarwati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro. Tata cara Pemerintahan Hindia Belanda membuat Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan yang terkenal dengan nama Perang Diponegoro. 

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830. Beliau meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Makamnya berada di Makassar.

TUANKU IMAN BONJOL

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772). Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada tahun 1772. Dalam perjuangannya, Tuanku Imam Bonjol melakukan perlawanan besar - besaran yang kita kenal dengan nama Perang Padri.


Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (Bid'ah). Tetapi itu semua ditolak. Belanda malah bergabung dengan kaum adat. Setelah kaum adat menang, Belanda memusuhi kaum adat yang akhirnya bergabung dengan para ulama. Belanda mengepung benteng bonjol, tetapi tetap terus gagal untuk menangkap Imam Bonjol.


Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.



Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut

SULTAN HASANUDIN

Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. 


Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat di Makassar pada tanggal 12 Juni 1670. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar. 

pangeran antasari

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1809 ) adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.
Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja. Dalam perlawanannya dengan Belanda, Pangeran Antasari terkenal dengan perang heroiknya yang kita kenal dengan nama perang banjar.

Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijk di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.


Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.

sultan nuku

Muhammad Amiruddin atau lebih dikenal dengan nama Sultan Nuku (Soasiu, Tidore, 1738 - Tidore, 14 November 1805) adalah seorang Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Dia merupakan sultan dari Kesultanan Tidore yang dinobatkan pada tanggal 13 April 1779, dengan gelar “Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan”

Muhamad Amiruddin alias Nuku adalah putra Sultan Jamaluddin (1757–1779) dari Kerajaan Tidore. Nuku juga dijuluki sebagai Jou Barakati artinya Panglima Perang. Pada zaman pemerintahan Nuku (1797 – 1805), Kesultanan Tidore mempunyai wilayah kerajaan yang luas yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai Barat dan bagian Utara Irian Barat serta Seram Timur. Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan peperangan untuk mempertahankan tanah airnya dan membela kebenaran.
Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos ke perairan yang lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan taktik serta terjun ke medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas merdeka. Cita-citanya membebaskan seluruh Kepulauan Maluku terutama Maluku Utara (Maloko Kie Raha) dari penjajah bangsa asing.

Pemerintah Kolonial Belanda yang berpusat di Batavia (kini Jakarta) dengan gubernur-gubernurnya yang ada di Ambon, Banda dan Ternate selalu berhadapan dengan raja pemberontak ini yang terus mengganjal kekuasaan Kompeni (Belanda) tanpa kompromi. Mereka semua tidak mampu menghadapi konfrontasi Nuku. Nuku merupakan musuh bebuyutan yang tidak bisa ditaklukan, bahkan tidak pernah mundur selangkahpun saat bertempur melawan Belanda di darat maupun di laut.
Ia adalah seorang pejuang yang tidak dapat diajak kompromi. Semangat dan perjuangannya tidak pernah padam, walaupun kondisi fisiknya mulai dimakan usia. Kodrat rohaninya tetap kuat dan semangat tetap berkobar sampai ia meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1805.

PAHLAWAN KITA INDONESIA

Daftar Pahlawan Nasional Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Daftar Pahlawan Nasional Indonesia (per 2011)
Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada Warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Gelar Pahlawan Nasional ditetapkan oleh presiden. Sejak dilakukan pemberian gelar ini pada tahun 1959, nomenklaturnya berubah-ubah. Untuk menyelaraskannya, maka dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 disebutkan bahwa gelar Pahlawan Nasional mencakup semua jenis gelar yang pernah diberikan sebelumnya, yaitu:[1]
  • Pahlawan Perintis Kemerdekaan
  • Pahlawan Kemerdekaan Nasional
  • Pahlawan Proklamator
  • Pahlawan Kebangkitan Nasional
  • Pahlawan Revolusi
  • Pahlawan Ampera
Berikut adalah daftar 156 tokoh yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Daftar ini disusun berdasarkan data di situs web Kementerian Sosial per Januari 2010 dilengkapi dengan daftar Pahlawan Nasional yang ditetapkan setelahnya.[2] Karena perdebatan yang masih berlangsung mengenai statusnya, Pahlawan Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Ampera tidak dimasukkan ke dalam daftar ini.[3]
No. Nama Gelar Tanggal penetapan Dasar penetapan
1 Abdul Muis Pahlawan Kemerdekaan Nasional 30 Agustus 1959 Keppres No. 218 Tahun 1959
2 Ki Hajar Dewantara Pahlawan Kemerdekaan Nasional 28 November 1959 Keppres No. 305 Tahun 1959
3 Raden Mas Soerjopranoto Pahlawan Kemerdekaan Nasional 30 November 1959 Keppres No. 310 Tahun 1959
4 Mohammad Husni Thamrin Pahlawan Kemerdekaan Nasional 28 Juli 1960 Keppres No. 175 Tahun 1960
5 Kiai Haji Samanhudi Pahlawan Kemerdekaan Nasional 9 November 1961 Keppres No. 590 Tahun 1961
6 Oemar Said Tjokroaminoto Pahlawan Kemerdekaan Nasional 9 November 1961 Keppres No. 590 Tahun 1961
7 Ernest Douwes Dekker (Setiabudi) Pahlawan Kemerdekaan Nasional 9 November 1961 Keppres No. 590 Tahun 1961
8 Sisingamangaraja XII Pahlawan Kemerdekaan Nasional 9 November 1961 Keppres No. 590 Tahun 1961
9 Dr. G.S.S.J. Ratulangi Pahlawan Kemerdekaan Nasional 9 November 1961 Keppres No. 590 Tahun 1961
10 dr. Soetomo Pahlawan Kemerdekaan Nasional 27 Desember 1961 Keppres No. 657 Tahun 1961
11 Haji Ahmad Dahlan Pahlawan Kemerdekaan Nasional 27 Desember 1961 Keppres No. 657 Tahun 1961
12 Agus Salim Pahlawan Kemerdekaan Nasional 27 Desember 1961 Keppres No. 657 Tahun 1961
13 Jenderal Gatot Subroto Pahlawan Kemerdekaan Nasional 18 Juni 1962 Keppres No. 222 Tahun 1962
14 Sukarjo Wiryopranoto Pahlawan Kemerdekaan Nasional 29 Oktober 1962 Keppres No. 342 Tahun 1962
15 Ferdinand Lumbantobing Pahlawan Kemerdekaan Nasional 17 November 1962 Keppres No. 361 Tahun 1962
16 Kiai Haji Zainul Arifin Pahlawan Kemerdekaan Nasional 4 Maret 1963 Keppres No. 35 Tahun 1963
17 Tan Malaka Pahlawan Kemerdekaan Nasional 28 Maret 1963 Keppres No. 53 Tahun 1963[4]
18 Mgr. Albertus Sugiyapranata S.J. Pahlawan Kemerdekaan Nasional 26 Juli 1963 Keppres No. 152 Tahun 1963
19 Ir. Raden Juanda Kartawijaya Pahlawan Kemerdekaan Nasional 6 November 1963 Keppres No. 244 Tahun 1963
20 Dr. Saharjo S.H. Pahlawan Kemerdekaan Nasional 29 November 1963 Keppres No. 245 Tahun 1963
21 Cut Nyak Dhien Pahlawan Kemerdekaan Nasional 2 Mei 1964 Keppres No. 106 Tahun 1964[5]
22 Cut Nyak Meutia Pahlawan Kemerdekaan Nasional 2 Mei 1964 Keppres No. 106 Tahun 1964
23 Raden Ajeng Kartini Pahlawan Kemerdekaan Nasional 2 Mei 1964 Keppres No. 108 Tahun 1964
24 dr. Cipto Mangunkusumo Pahlawan Kemerdekaan Nasional 2 Mei 1964 Keppres No. 109 Tahun 1964
25 Kiai Haji Fakhruddin Pahlawan Kemerdekaan Nasional 26 Juni 1964 Keppres No. 163 Tahun 1964
26 Kiai Haji Mas Mansur Pahlawan Kemerdekaan Nasional 26 Juni 1964 Keppres No. 163 tahun 1964
27 Alimin Pahlawan Kemerdekaan Nasional 26 Juni 1964 Keppres No. 163 Tahun 1964[6]
28 dr. Moewardi Pahlawan Kemerdekaan Nasional 4 Agustus 1964 Keppres No. 190 Tahun 1964
29 Wahid Hasyim Pahlawan Kemerdekaan Nasional 24 Agustus 1964 Keppres No. 206 Tahun 1964
30 Sri Susuhunan Pakubuwana VI Pahlawan Kemerdekaan Nasional 17 November 1964 Keppres No. 294 Tahun 1964
31 Kyai Haji Mohammad Hasyim Asyari Pahlawan Kemerdekaan Nasional 17 November 1964 Keppres No. 294 Tahun 1964
32 Raden Mas Tumenggung Ario Suryo Pahlawan Kemerdekaan Nasional 17 November 1964 Keppres No. 294 Tahun 1964
33 Jenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan Nasional 10 Desember 1964 Keppres No. 314 Tahun 1964
34 Letnan Jenderal Urip Sumoharjo Pahlawan Kemerdekaan Nasional 10 Desember 1964 Keppres No. 314 Tahun 1964
35 Prof. Dr. Soepomo Pahlawan Kemerdekaan Nasional 14 Mei 1965 Keppres No. 123 Tahun 1965
36 Dr. Kusumah Atmaja S.H. Pahlawan Kemerdekaan Nasional 14 Mei 1965 Keppres No. 124 Tahun 1965
37 Jenderal Ahmad Yani Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
38 Letnan Jenderal Suprapto Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
39 Letnan Jenderal Haryono Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
40 Letnan Jenderal Siswondo Parman Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
41 Mayor Jenderal Pandjaitan Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
42 Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
43 Kapten Pierre Tendean Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
44 AIP Karel Satsuit Tubun Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965 Keppres No. 114/KOTI/1965
45 Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo Pahlawan Revolusi 19 Oktober 1965 Keppres No. 118/KOTI/1965
46 Kolonel Sugiono Pahlawan Revolusi 19 Oktober 1965 Keppres No. 118/KOTI/1965
47 Sutan Syahrir Pahlawan Nasional 9 April 1966 Keppres No. 76 Tahun 1966
48 Laksamana Laut Martadinata Pahlawan Nasional 7 Oktober 1966 Keppres No. 220 Tahun 1966
49 Dewi Sartika Pahlawan Nasional 1 Februari 1966 Keppres No. 252 Tahun 1966
50 Wilhelmus Zakaria Johannes Pahlawan Nasional 27 Maret 1968 Keppres No. 6/TK/1968
51 Pangeran Antasari Pahlawan Nasional 27 Maret 1968 Keppres No. 06/TK/1968
52 Usman Janatin Pahlawan Nasional 17 Oktober 1968 Keppres No. 50/TK/1968
53 Kopral Harun bin Said (Thohir) Pahlawan Nasional 17 Oktober 1968 Keppres No. 50/TK/1968
54 Jenderal Basuki Rahmat Pahlawan Nasional 9 November 1969 Keppres No. 10/TK/1969
55 Arie Frederik Lasut Pahlawan Nasional 20 Mei 1969 Keppres No. 12/TK/1969
56 Martha Christina Tiahahu Pahlawan Nasional 20 Mei 1969 Keppres No. 12/TK/1969[7]
57 Maria Walanda Maramis Pahlawan Nasional 20 Mei 1969 Keppres No. 12/TK/1969
58 Supeno Pahlawan Nasional 13 Juli 1970 Keppres No. 39/TK/1970
59 Sultan Ageng Tirtayasa Pahlawan Nasional 1 Agustus 1970 Keppres No. 45/TK/1970
60 Wage Rudolf Supratman Pahlawan Nasional 20 Mei 1971 Keppres No. 16/TK/1971
61 Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional 22 September 1971 Keppres No. 42/TK/1971
62 Kiai Haji Zainal Mustafa Pahlawan Nasional 6 November 1972 Keppres No. 64/TK/1972
63 Sultan Hasanuddin Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 87/TK/1973
64 Kapitan Pattimura Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 87/TK/1973
65 Pangeran Diponegoro Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 87/TK/1973
66 Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 87/TK/1973
67 Teungku Cik di Tiro Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 87/TK/1973
68 Teuku Umar Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 87/TK/1973
69 Wahidin Sudirohusodo Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 88/TK/1973
70 Oto Iskandar di Nata Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 88/TK/1973[8]
71 Robert Wolter Monginsidi Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 88/TK/1973
72 Prof. Mohammad Yamin S.H. Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 88/TK/1973
73 Yos Sudarso Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 88/TK/1973
74 Prof. Dr. Suharso Pahlawan Nasional 6 November 1973 Keppres No. 88/TK/1973
75 Marsekal Muda Abdulrachman Saleh Pahlawan Nasional 9 November 1974 Keppres No. 71/TK/1974
76 Marsekal Muda Agustinus Adisucipto Pahlawan Nasional 9 November 1974 Keppres No. 71/TK/1974
77 Teuku Nyak Arief Pahlawan Nasional 9 November 1974 Keppres No. 71/TK/1974[9]
78 Nyi Ageng Serang Pahlawan Nasional 13 Desember 1974 Keppres No. 84/TK/1974
79 Hajjah Rangkayo Rasuna Said Pahlawan Nasional 13 Desember 1974 Keppres No. 84/TK/1974
80 Halim Perdanakusuma Pahlawan Nasional 9 Agustus 1975 Keppres No. 63/TK/1975
81 Marsekal Madya Iswahyudi Pahlawan Nasional 9 Agustus 1975 Keppres No. 63/TK/1975
82 Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai Pahlawan Nasional 9 Agustus 1975 Keppres No. 63/TK/1975
83 Suprijadi Pahlawan Nasional 9 Agustus 1975 Keppres No. 63/TK/1975
84 Sultan Agung Hanyokrokusumo Pahlawan Nasional 3 November 1975 Keppres No. 106/TK/1975
85 Untung Suropati Pahlawan Nasional 3 November 1975 Keppres No. 106/TK/1975
86 Tengku Amir Hamzah Pahlawan Nasional 3 November 1975 Keppres No. 106/TK/1975
87 Sultan Thaha Sjaifuddin Pahlawan Nasional 24 Oktober 1977 Keppres No. 79/TK/1977
88 Sultan Mahmud Badaruddin II Pahlawan Nasional 29 Oktober 1984 Keppres No. 63/TK/1984
89 Soekarno Pahlawan Proklamator
Pahlawan Nasional
23 Oktober 1986
7 November 2012
Keppres No. 81/TK/1986
Keppres No. 83/TK/2012[10]
90 Drs. Mohammad Hatta Pahlawan Proklamator
Pahlawan Nasional
23 Oktober 1986
7 November 2012
Keppres No. 81/TK/1986
Keppres No. 84/TK/2012[10]
91 Suroso R.P Pahlawan Nasional 23 Oktober 1986 Keppres No. 81/TK/1986
92 Radin Inten II Pahlawan Nasional 23 Oktober 1986 Keppres No. 81/TK/1986
93 Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I Pahlawan Nasional 17 Agustus 1988 Keppres No. 48/TK/1988
94 Sri Sultan Hamengkubuwana IX Pahlawan Nasional 30 Juli 1990 Keppres No. 53/TK/1990
95 Sultan Iskandar Muda Pahlawan Nasional 14 September 1993 Keppres No. 77/TK/1993
96 I Gusti Ketut Jelantik Pahlawan Nasional 15 September 1993 Keppres No. 77/TK/1993
97 Frans Kaisiepo Pahlawan Nasional 14 September 1993 Keppres No. 77/TK/1993
98 Silas Papare Pahlawan Nasional 14 September 1993 Keppres No. 77/TK/1993
99 Marthen Indey Pahlawan Nasional 14 September 1993 Keppres No. 77/TK/1993
100 Nuku Muhammad Amiruddin Pahlawan Nasional 7 Agustus 1995 Keppres No. 71/TK/1995
101 Tuanku Tambusai Pahlawan Nasional 7 Agustus 1995 Keppres No. 71/TK/1995
102 Syech Yusuf Tajul Khalwati Pahlawan Nasional 7 Agustus 1995 Keppres No. 71/TK/1995
103 Siti Hartinah Pahlawan Nasional 30 Juli 1996 Keppres No. 60/TK/1996
104 Raja Haji Fisabilillah Pahlawan Nasional 11 Agustus 1997 Keppres No. 72/TK/1997
105 Haji Adam Malik Pahlawan Nasional 6 November 1998 Keppres No. 107/TK/1998
106 Cilik Riwut Pahlawan Nasional 6 November 1998 Keppres No. 108/TK/1998
107 La Madukelleng Pahlawan Nasional 6 November 1998 Keppres No. 109/TK/1998
108 Sultan Syarif Kasim II Pahlawan Nasional 6 November 1998 Keppres No. 109/TK/1998
109 H. Ilyas Yakoub Pahlawan Nasional 13 Agustus 1999 Keppres No. 74/TK/1999
110 Prof. Dr. Hazairin Pahlawan Nasional 13 Agustus 1999 Keppres No. 74/TK/1999
111 Abdul Kadir Pahlawan Nasional 13 November 1999 Keppres No. 114/TK/1999
112 Fatmawati Pahlawan Nasional 4 November 2000 Keppres No. 118/TK/2000
113 Ranggong Daeng Romo Pahlawan Nasional 3 November 2001 Keppres No. 109/TK/2001
114 Brigadir Jenderal Hasan Basry Pahlawan Nasional 3 November 2001 Keppres No. 110/TK/2001
115 Jendral Besar Abdul Harris Nasution Pahlawan Nasional 6 November 2002 Keppres No. 73/TK/2002
116 Gusti Pangeran Harya Jatikusumo Pahlawan Nasional 6 November 2002 Keppres No. 73/TK/2002
117 Andi Jemma Pahlawan Nasional 6 November 2002 Keppres No. 73/TK/2002
118 Pong Tiku Pahlawan Nasional 6 November 2002 Keppres No. 73/TK/2002
119 Prof. Dr. Iwa Kusumasumantri Pahlawan Nasional 6 November 2002 Keppres No. 73/TK/2002
120 Nani Wartabone Pahlawan Nasional 6 November 2003 Keppres No. 85/TK/2003
121 Maskoen Soemadiredja Pahlawan Nasional 5 November 2004 Keppres No. 89/TK/2004
122 Andi Mappanyukki Pahlawan Nasional 5 November 2004 Keppres No. 89/TK/2004
123 Ali Haji Pahlawan Nasional 5 November 2004 Keppres No. 89/TK/2004
124 Kiai Haji Achmad Rifai Pahlawan Nasional 5 November 2004 Keppres No. 89/TK/2004
125 Gatot Mangkupraja Pahlawan Nasional 5 November 2004 Keppres No. 89/TK/2004
126 Ismail Marzuki Pahlawan Nasional 5 November 2004 Keppres No. 89/TK/2004
127 Kiras Bangun (Garamata) Pahlawan Nasional 7 November 2005 Keppres No. 82/TK/2005
128 Bagindo Azizchan Pahlawan Nasional 7 November 2005 Keppres No. 82/TK/2005
129 Andi Abdullah Bau Massepe Pahlawan Nasional 7 November 2005 Keppres No. 82/TK/2005
130 Teuku Mohammad Hasan Pahlawan Nasional 3 November 2006 Keppres No. 85/TK/2006[11]
131 Raden Mas Tirto Adhi Soerjo Pahlawan Nasional 3 November 2006 Keppres No. 85/TK/2006[11]
132 Kiayi Haji Noer Alie Pahlawan Nasional 3 November 2006 Keppres No. 85/TK/2006[11]
133 Pajonga Daeng Ngalie Karaeng Polongbangkeng Pahlawan Nasional 3 November 2006 Keppres No. 85/TK/2006[11]
134 Opu Daeng Risadju Pahlawan Nasional 3 November 2006 Keppres No. 85/TK/2006[11]
135 Izaak Huru Doko Pahlawan Nasional 3 November 2006 Keppres No. 85/TK/2006[11]
136 Sri Sultan Hamengkubuwana I Pahlawan Nasional 3 November 2006 Keppres No. 85/TK/2006[11]
137 Haji Andi Sultan Daeng Raja Pahlawan Nasional 3 November 2006 Keppres No. 85/TK/2006[11]
138 Mayor Jenderal Adenan Kapau Gani Pahlawan Nasional 9 November 2007 Keppres No. 66/TK/2007[12]
139 Dr. Ida Anak Agung Gde Agung Pahlawan Nasional 9 November 2007 Keppres No. 66/TK/2007[12]
140 Mayor Jenderal TNI Prof. Dr. Moestopo Pahlawan Nasional 9 November 2007 Keppres No. 66/TK/2007[12]
141 Slamet Riyadi Pahlawan Nasional 9 November 2007 Keppres No. 66/TK/2007[12]
142 Muhammad Natsir Pahlawan Nasional 6 November 2008 Keppres No. 41/TK/2008[13]
143 Kiai Haji Abdul Halim Pahlawan Nasional 6 November 2008 Keppres No. 41/TK/2008[13]
144 Sutomo Pahlawan Nasional 6 November 2008 Keppres No. 41/TK/2008[13]
145 Jahja Daniel Dharma Pahlawan Nasional 9 November 2009 Keppres No. 58/TK/2009[14]
146 Herman Johannes Pahlawan Nasional 9 November 2009 Keppres No. 58/TK/2009[14]
147 Achmad Subardjo Pahlawan Nasional 9 November 2009 Keppres No. 58/TK/2009[14]
148 Johanes Leimena Pahlawan Nasional 11 November 2010 Keppres No. 52/TK/2010[15]
149 Johannes Abraham Dimara Pahlawan Nasional 11 November 2010 Keppres No. 52/TK/2010[15]
150 Syafruddin Prawiranegara Pahlawan Nasional 7 November 2011 Keppres No. 113/TK/2011[16]
151 Idham Chalid Pahlawan Nasional 7 November 2011 Keppres No. 113/TK/2011[16]
152 Haji Abdul Malik Karim Amrullah Pahlawan Nasional 7 November 2011 Keppres No. 113/TK/2011[16]
153 Ki Sarmidi Mangunsarkoro Pahlawan Nasional 7 November 2011 Keppres No. 113/TK/2011[16]
154 I Gusti Ketut Pudja Pahlawan Nasional 7 November 2011 Keppres No. 113/TK/2011[16]
155 Pakubuwana X Pahlawan Nasional 7 November 2011 Keppres No. 113/TK/2011[16]
156 Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono Pahlawan Nasional 7 November 2011 Keppres No. 113/TK/2011[16]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Penjelasan Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009
  2. ^ DAFTAR NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, Kementerian Sosial RI, Januari 2010. Diakses tanggal 7 November 2012.
  3. ^ Beda Pendapat Gelar Pahlawan untuk Soekarno-Hatta
  4. ^ Amri, Arfi Bambani. Gelar Pahlawan Nasional Tan Malaka Tak Pernah Dicabut, detikNews, Rabu, 15/08/2007 07:36 WIB. Diakses 2 Februari 2011.
  5. ^ Cut Nyak Dien Pahlawan Aceh Yang Dimakamkan Di Sumedang], Situs Bapusipda Jawa Barat, 4 Februari 2010. Diakses 4 Februari 2011.
  6. ^ Utamakan Persatuan dan Dialog, Copyright © 2002-2010 Situs TokohIndonesia, 2 Oktober 2010. Diakses 2 Februari 2011
  7. ^ Rahawarin, Berthy B., Christina Martha Tiahahu: Puteri Nusantara Pertama Penentang Belanda, Harian Online KabarIndonesia, 02-Jan-2011, 08:20:46 WIB. Diakses 2 Februari 2011.
  8. ^ Album 97 Pahlawan Nasional, Cet. 10, Hlm. 47, Penerbit Bahtera Jaya, Jakarta 1996; dalam Website Arsip Kabupaten Bandung, Badan Perpustakaan Arsip dan Pengembangan Sistem Informasi Kabupaten Bandung. Copyright 2009. Diak

7wanita pahlawan indonesia

. Raden Ajeng Katini
R.A Kartini lagir pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara, pahlawan nasional yang lahir dari kalangan Priayi kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat seorang Bupati Jepara, dan keturunannya pernah di telusuri bahwa ia adalah salah satu keturunan dari Sri Sultan Hangkubowono IV. Anak ke – 5 dari 11 bersaudara ini memperjuangkan pendidikan gratis di daerah Jepara dan Rembang yang dikhususkan untuk para kaum putri yang ada pada saat itu. 
Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah. 
2. Cut Nyak dhien (Perempuan Aceh Berhati Baja)

Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap. Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1850, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Ketika Lampadang, tanah kelahirannya, diduduki Belanda pada bulan Desember 1875, Cut Nyak Dien terpaksa mengungsi dan berpisah dengan ayah serta suaminya yang masih melanjutkan perjuangan. Perpisahan dengan sang suami, Teuku Ibrahim Lamnga, yang dianggap sementara itu ternyata menjadi perpisahan untuk selamanya. Cut Nyak Dien yang menikah ketika masih berusia muda, begitu cepat sudah ditinggal mati sang suami yang gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum bulan Juni 1878.
Cut Nyak Dien diputuskan mejadi Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 2 Mei 1964 oleh Presiden Soekarno.

3. Cut Nyak Meutia
Cut Nyak Meutia, wanita asal Nangroe Aceh Darussalam, yang terus berjuang melawan Belanda hingga tewas diterjang tiga peluru di tubuhnya. Wanita kelahiran Perlak, Aceh, tahun 1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial.

Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan hidupnya.

Perang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak Meutia bersama suaminya Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.

Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.

Bersama suaminya, tanpa kenal takut dia terus melakukan perlawanan. Namun naas bagi Teuku Cik Tunong, suaminya. Suatu hari di bulan Mei tahun 1905, Teuku Cik Tunong berhasil ditangkap pasukan Belanda. Ia kemudian dijatuhi hukuman tembak.
4. Raden Dewi Sartika
Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 – Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

5. Siti Aisyah We Tenriolle. 
Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.Martha Christina Tiahahu ( 4 Januari 1800 – 2 Januari 1818 )

6. Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir pada tanggal 4 Januari 1800, anak dari Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga sebagai teman perjuangan dari Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.

Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dari peperang dan jiwanya yang terkenal dengan pantang mundur. Penampilan dari pahlawan nasional ini selalu membuat rambutnya yang panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (merah) yang di lingkarkan di kepalannya. Ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua, tidak mengenal siang dan malam ia selalu ada dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita yang ada pada saat itu agar ikut membantu kaum pria disetiap medan pertempuran dan berdampak pada Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang. Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya dilemparkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

7. Nyi Ageng Serang (1752 – 1828 )
Nyi Ageng Serang yang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi yang di perkirakan lahir pada tahun 1752, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putri dari Pangeran Natapraja yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Ayahnya Pangeran Natapraja adalah panglima perang dari Sultan Hamengku Buwono I yang yang melawan pemerintahan kolonial di daerah Serang, dan pada saat itu juga Nyi Ageng Serang sudah dibawa dan ikut ayahnya berperang ketika ia masih anak – anak.

Dikabarkan bahwa Nyi Ageng Serang adalah salah satu keturunan Sunan Kalijaga, dan juga ia juga mempunyai keturunan seorang Pahlawan nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau biasa di kenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Ketika perang Diponegoro meletus, Nyi Ageng Serang turut serta dan didampingi oleh menantunya Raden Mas Pak-pak yang juga ikut bertempur melawan Belanda. Nyi Ageng bertempur dan memimpin pasukannya dari tandu karena usianya yang sudah mencapai 73 tahun. Setelah 3 tahun ikut membantu Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang mengundurkan diri dari medan perang dan digantikan oleh menantunya Raden Pak-Pak. Dan tidak lama setelah itu pada tahun 1828 ia menutup usianya dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo.